Sabtu, 09 April 2016

TRADISI ISLAM DI NUSANTARA



TRADISI ISLAM DI NUSANTARA
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sebelum kedatangan Islam ada yang sudah menganut agama Hindu Budha maupun menganut kepercayaan adat setempat, Islam harus menyesuaikan diri dengan budaya lokal maupun kepercayaan yang sudah dianut daerah tersebut.
Selanjutnya terjadi proses akulturasi (pencampuran budaya). Proses ini menghasilkan budaya baru yaitu perpaduan antara budaya setempat dengan budaya Islam. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tradisi yang berbeda-beda, oleh karena itu proses akulturasi budaya Islam dengan budaya setempat di setiap daerah terdapat perbedaan.
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia yang diperkirakan telah berlangsung selama tiga belas abad, menunjukkan ragam perubahan pola, gerakan dan pemikiran keagamaan seiring dengan perubahan sejarah bangsa. Keragaman demikian juga dapat melahirkan berbagai bentuk studi mengenai Islam di negeri ini yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Islam dilihat dari perkembangan sosial umpamanya, hampir dalam setiap periode terdapat model-model gerakan umat Islam. Sebagaimana terjadi pada zaman atau periode modern dan kontemporer yang mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Tradisi Islam nusantara adalah sesuatu yang menggambarkan suatu tradisi Islam dari berbagai daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan Islam dari daerah tersebut.
B.    Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian dari Tradisi Islam Nusantara ?
2.     Apa contoh dari Tradisi Islam Nusantara ?
3.     Bagaimana cara mengapresiasikan Tradisi Islam Nusantara ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Masuknya Islam di Nusantara
Nusantara berarti Negara kepulauan, atau wilayah yang terdiri dari pulau-pulau. Nusantara adalah sebutan untuk Indonesia baik di zaman sebelum atau sesudah kemerdekaan. Pada abad ke-7 pantai pesisir Sumatra telah menjadi kawasan lintas perdagangan bagi pedagang Muslim dari India, Persia dan Arab yang menuju Tiongok. Negara-negara timur tengah memiliki hubungan baik dengan Negara-negara Asia Tenggara, termasuk dengan Nusantara.[1]
Para pedagang asing yang beragama Islam seringkali menghabiskan hari-hari mereka untuk tinggal di sekitar pesisir yang mereka singgahi. Selama itulah diduga terjadi interaksi yang lebih dekat antara penduduk pribumi dengan para pedagang asing muslim. Dan saat-saat itulah digunakan oleh para pedagang muslim untuk berdakwah dan berdiskusi masalah agama penduduk pribumi dan al-Hasil banyak para penduduk pribumi yang tertarik dengan agama yang dianut oleh para pedagagng asing.
B.    Pengertian Tradisi Islam Nusantara
Masyarakat Indonesia sebelum kedatangan Islam ada yang sudah menganut agama Hindu Budha yang mana agama Hindu Budha adalah agama yang lebih dahulu masuk Indonesia dari pada agama Islam. Masyarkat Indonesia setempat banyak yang menganut kepercayaan adat setempat. Islam sebagai agama pendatang maka Islam harus menyesuikan diri dengan budaya dan tradisi yang sudah ada didaerah tersebut.
Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat.[2] Hal inilah yang membuat proses dakwah Islam pada saat itu tidak lepas dari adat yang sudah berlaku. Kepercayaan masyarakat yang sudah mendarah daging tidak mungkin dapat dihilangkan secara langsung. Akan tetapi memerlukan akultrasi (pencampuran budaya) antara ajaran Islam dan adat yang ada di Nusantara.
Tradisi Islam di Nusantara merupakan metode dakwah yang dilakukan para ulama pada masa itu. Para ulama tidak menghapus secara total dari adat yang sudah berlangsung ada di masyarakat, akan tetapi para ulama memasukan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi dan adat tersebut. Dengan harapan masyarakat tidak merasa kehilangan atas adat dan tradisi yang sudah ada dan ajaran Islam juga bisa diterima dengan mudah.
C.     Kesenian dan Adat Nusantara
Bayak kesenian dan adat yang berkembang di Nusantara bernapaskan Islam. Semua itu dalam rangkaian dakwah Islam yang dilakukan pada masa itu.  Antara lain diantaranya adalah[3] :
1.     Wayang
Kesenian wayang merupakan kesenian tradisional dari Jawa. Dan Sunan Kalijogo adalah satu wali dari wali songo yang kreatif dan ahli dalam mengambil hati masyarakat dalam berdakwah melalui kenenian wayang.[4] Wayang ini sebagai sarana dakwah dan meng-Islamkan masyarakat di tanah Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya. Dalam setiap cerita wayang yang diciptakan oleh Sunan Kalijogo mengandung misi dakwah, misalnya cerita wayang yang berjudul “Jamus Kalimasada, Wahyu Tohjali, Wahyu Purboningrat dan Babat Alas Wonomarto.[5]
Di samping menciptakan cerita-cerita pewayangan, Sunan Kalijaga juga berhasil menciptakan peralatan perlengkapan dalam wayang. Kelengkapan yang menyertai pementasan wayang adalah seperangkat gamelan dan gending-gending jawa. Cerita-cerita pewayangan diambil dari kitab Ramayana dan Bhatarayuda. Setelah tercadi akultrasi dengan Islam tokoh-tokoh dan cerita pewayangan diganti dengan cerita yang bernuansa Islam. Bagi orang jawa, wayang bukan sekedar tontonan, tapi juga sebagai tuntunan karena dengan pesan-pesan dan moral yang bernuansa islami.


2.     Kasidah
Kasidah sendiri berasal dari bahasa Arab “qasidah”, yang artinya puisi yang lebih dari 14 bait. Kasidah merupakan jenis seni suara yang bernuansa Islam. Lagu-lagu kasidah dilantunkan dengan ceria dan pengiring lagunya alat music yang disebut rebana.[6]
Kasidah mulai tumbuh seiring berkembangnya kesenian tradisional Islam yang ada di tengah masyarakat Indonesia, seperti halnya zikir dan sholawat. Kasidah mulai popular sekitar tahun 1960-an, tetapi masih bersifat local dan pada tahun 1970-an, kasidah sudah berkembang secara luas dan bahkan sudah mulai tampil di acara televisi.
3.     Hadrah
Hadrah adalah suatu kesenian dalam bentuk seni tari dan nyanyian yang bernuansa Islam. Lagu-lagu yang digunakan adalah lagu yang berisi tentang ajaran Islam. Hadrah biasanya dipentaskan dalam acara syukuran atas kelahiran anak, khitanan, pernikahan atau hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan ke-Islaman.
4.     Sekaten / Grebeg Maulud
Sekaten adalah perayaan maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan di Yogyakarta dan di Surakarta. Kata sekaten itu berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain (dua kalimat syahadat). Dua kalimat syahadat itu merupakan wujud pengakuan keislaman seseorang. Sekaten mulai diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak pada abad XVI.
Perayaan sekaten diselenggarakan rutin sekali dalam setahun yang dikenal pula dengan istilah “Mauludan”, untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di Yogyakarta dan Surakarta sekaten menjadi lambang kekuatan dan keberanian pendiri Kerajaan Mataram Islam. Karena secara politis, peringatan sekaten ini digunakan oleh orang-orang yang beragama Islam untuk mengajak Hindu, Budha untuk menganut agama Islam secara terang-terangan.[7]
5.     Selikuran
Selikuran berasal dari kata selikur atau dua puluh satu. Perayaan tersebut dalam rangka menyambut datangnya malam lailatul qadar, yang menurut  ajaran Islam lailatulqadar hadir pada 1/3 terakhir bulan ramadhan. Biasanya orang orang pada tanggal 20-29 pada tanggal ganjilnya selalu bersedekah di masjid setelah sholat teraweh di laksanakan.
6.     Syawalan
Adalah kegiatan silahturahmi kepada semua umat manusia (muslim) setelah melaksanakan Sholat Sunat Idul Fitri untuk saling maaf memaafkan atas segala kesalahan yang telah di perbuatnya. Pada tradisi tersebut berlangsung hingga beberapa hari, Bahkan ada yang di ramaikan pada hari ke 7 Syawal dengan Istilah Lebaran Ketupat.
7.     Tahlilan
Tahlilan adalah upacara kenduri atau selamatan untuk berdo’a kepada Alloh dengan membaca surat Yasin dan beberapa surat dan ayat pilihan lainnya, diikuti kalimat-kalimat tahlil (laailaahaillallah), tahmid (Alhamdulillah) dan tasbih (subhanallah).
Tradisi ini berasal dari kebiasaan orang-orang Hindu dan Budha yaitu Kenduri, selamatan dan sesaji. Dalam agam Islam tradisi ini tidak dapat dibenarkan karena mengandung unsur kemusyrikan. Dalam tahlilan sesaji digantikan dengan berkat atau lauk-pauk yang bisa dibawa pulang oleh peserta. Ulama yang mengubah tradisi ini adalah Sunan Kalijaga dengan maksud agar orang yang baru masuk Islam tidak terkejut karena harus meninggalkan tradisi mereka, sehingga mereka kembali ke agamanya.
D.    Apresiasi Terhadap Tradisi Nusantara
Seni dan budaya yang bernuansa islam tersebut adalah hasil para tokoh dakwah dimasa lalu yang kreatif, dimana para tokoh dakwah mencari akal bagaimana caranya supaya masyarakat yang sebelumnya masih kuat memegang adat dan budaya sebelumnya beralih ke agama islam tanpa menyinggung perasaan adat budaya sebelumnya yaitu Hindu Budha. Kita perlu menghargai dan melestarikan seni dan budaya adat yang bernuansa islam, sepanjang tidak membawa dampak negative bagi aqidah keislaman dan tidak mengakibatkan syirik dan penyimpangan dari ajaran Islam. Seni budaya dan tradisi di nusantara diatas masih dipakai sampai pada saat sekarang ini.  Seperti didaerah-daerah pedesaan, namun semuanya ini sudah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.



























BAB III
KESIMPULAN
Datangnya Islam ke wilayah Nusantara setelah agama yang lain itu membuat Islam lebih berhati-hati agar disaat mengajarkan ajaran Islam tidak mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Karena disaat Islam belum memasuki Nusantara, di daerah masyarakat sudah terdapat beberapa seni, budaya dan adat-istiadat yang berasal dari agama sebelumnya yaitu Hindu dan Budha.
Dengan kekreatifan, kejelian dan kehatian-hatian para tokoh ulama dakwah terdahulu, Islam bisa memasuki Nusantara dengan tidak menjadikan keributan yang berlebihan, karena masyarakat bisa dengan mudah menerima ajaran-ajaran dari Islam tersebut. Maka dari itu kita perlu berterima kasih dan mempertahankan tradisi yang dahulunya berbau kemusyrikan yang sudah dirubah oleh ulama menjadi tradisi yang bernuansa Islam. Karena sebenarnya tradisi itu tidak dapat berubah-ubah, karena merupakan pegangan yang fundamental.

DAFTAR PUSTAKA

Darsono, H. T, Ibrahim. 2009. Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam. Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Mahrus As’ad, dkk. 2009. Ayo Mengenal Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Erlangga.
Khamzah, M. Sejarah Kebudayaan Islam. Sragen : Akik Pusaka.


[1] Mahrus As’ad, dkk, Ayo Mengenal Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta : Erlangga, 2009),2.
[2] H. Darsono, T.Ibrahim,Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam, (Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), 77.
[3] Ibid.
[4] M. Khamzah, Sejarah Kebudayaan Islam,(Sragen : Akik Pusaka),17.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.,18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar